Menampilkan 4 Hasil

Kampanye Anti Kekerasan Lewat Lomba Lagu

kepala-bp3akb-jawa-barat-dewi-sartika
Kepala BP3AKB Provinsi Jawa Barat Dr. Ir. Dewi Sartika, M.Si saat membuka Lomba Gerak dan lagu Three Ends di CSB Cirebon (24/10).

Rakyat Cirebon, Edisi Senin 24 Oktober 2016. P2TP2A Kota Cirebon : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Cirebon terus melakukan kampanye kepadamasyarakat untuk menghapuskan segala jenis kekerasan yang memposisikan perempuan dan anak sebagai korbannya. Kali ini, kampanye dilakukan P2TP2A cukup menarik, yakni dengan menggelar lomba gerak dan lagu Three Ends yang mengikut sertakan para pelajar Kota Cirebon dari semua tingkatan.

Sebagaimana informasi yang berhasil didapatkan. Three Ends merupakan slogan yang digagas P2TP2A untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Cirebon. Isi sertya maksud yang dikandung Three Ends sendiri adalah tiga point ajakan kepada masyarakat, yang mana melalui Three Ends, P2TP2A  mengajak seluruh element masyarakat untuk mengakhiri tiga hal, yakni akhiri kekerasan terhadap anak dan perempuan, akhiri perdagangan manusia dan akhiri ketidak adilan akses ekonomi untuk perempuan.

Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Cirebon, dr Siska, mengatakan bahwa agenda lomba gerak dan lagu Three Ends merupakan bungkus yang berbeda dari tujuan utama pihaknya, yakni sosialisasi stop kekerasan terhadap perempuan dan anak yang memang sedang gencar dilakukan. “Ini adalah satu upaya kami dalam mengkampanyekan tentang stop kekerasan pada perempuan dan anak, kita usung dengan slogan Three Ends. Kami coba lakukan sosialisasi melalui media seni dan banyak lagi yang lainnya, kalo sekedar penyuluhan mungkin masyarakat bosan,” ungkap dr Siska saat diwawancarai Rakcer.

The Dark Side of the Gen Z

Beberapa hari lalu (20/9) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan akun Awkarin (Karin Novilda) dan Anya Geraldine dan beberapa akun lain di media sosial kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pasalnya akun-akun tersebut dinilai meresahkan banyak orang tua karena gambaran gaya hidup yang di-posting di akun Instagram mereka dikhawatirkan bisa menjadi contoh tak baik bagi remaja seusianya.

Dua remaja putri tersebut memicu viral di media sosial karena postingan foto-foto mereka yang seksi dan berani. Beberapa postingan mereka juga memaparkan pola berpacaran yang tidak sehat dan gaya hidup yang hedonik yang membuat banyak orang tua khawatir. Dua remaja putri tersebut kini menjadi selebgram dengan followers mencapai jutaan orang. Dan celakanya, apa yang telah mereka lakukan itu bisa jadi menjadi semacam “success story” sosok netizen yang mendapatkan kepopuleran di media sosial dalam waktu super singkat.

Fully Digital Native
Cerita Awkarin-Anya adalah contoh sisi kelam dari generasi baru yang bakal kita songsong yaitu Generasi Z (sering disebut Gen Z). Generasi ini lahir setelah pertengahan tahun 1990-an dan merupakan generasi yang sejak kecil sudah sepenuhnya menggunakan internet. Istilah kerennya, fully digital native. “Generation Z has never lived in the world without the internet and on average they use five screens a day,” ungkap sebuah riset. Tak heran jika sebagian besar waktu mereka dihabiskan secara online ketimbang berinteraksi dengan sesama teman secara fisik.

Untuk pertama kali dalam sejarah, inilah generasi dimana orang tua tidak punya kendali penuh terhadap anak-anak mereka. Ya karena sejak usia dini (12, 11, bahkan di bawah 10 tahun) mereka sudah diberi smartphone oleh orang tua, dan melalui smartphone tersebut mereka bisa begitu bebas berselancar di internet untuk mendapatkan informasi, mencari teman, dan menemukan apapun yang diinginkannya.

Begitu si anak masuk ke jagad internet, maka lepaslah kendali si orang tua terhadap anak. Tak heran jika kekhawatiran terbesar orang tua Gen Z adalah ketika anak mereka menyendiri di kamar dan memainkan smartphone mereka. Karena di situlah berbagai kemungkinan mereka berinteraksi dengan “evil of the world” di jagat internet (mulai dari gaya hidup Hollywood, online bullying, gambar-gambar porno, hingga predator pedofili) bisa terjadi.

Ketika orang tua tak punya kendali sepenuhnya, maka pengasuhan anak (parenting) akan diambil alih oleh “orang tua lain” yaitu Google, Facebook, Instagram, blog, dan jutaan situs di jagat internet. “In the digital age, internet becomes their co-parent.”

Internet as a Co-Parent
Kok bisa internet menjadi orang tua lain? Bisa. Tentu kita sepakat, tugas terbesar orang tua adalah menanamkan nilai-nilai, sikap,perilaku, dan karakter mulia kepada anak. Dengan bekal karakter mulia itu si anak akan bisa selamat dan sukses menjalani hidup bahkan ketika si orang tua tak ada lagi. Nah, tugas krusial ini pun bisa dimainkan dengan sangat efektif oleh internet, apalagi kalau sebagian besar waktu Gen Z dihabiskan di internet.

Pergaulan mereka dengan teman-teman di Facebook atau Instagram, interaksi mereka dengan sang idola di bagian lain dunia (Justin Bieber, Rihana, Miley Cyrus, dsb.), atau segudang informasi gaya hidup Barat yang mereka dapatkan di internet, semuanya bisa membentuk nilai-nilai, sikap, dan perilaku mereka. Bagi mereka internet menjadi medium yang sangat kaya untuk bereksplorasi, bereksperimen, dan berpetualang dalam rangka menemukan jati diri mereka.

Dalam kasus Anya di atas misalnya, salah satu konten menghebohkan yang ia posting di Instagram adalah video saat ia liburan dengan sang pacar dengan pola pacaran yang tak beda jauh dengan gaya pacaran selebriti-selebriti top Hollywood. Melihat kemiripannya, bisa jadi ide video itu diinspirasi oleh acara reality show semacam Keeping Up with the Kardasians (Kim Kardasian) atau Simple Life (Paris Hilton) di Hollywood. Begitu mudahnya gaya hidup tak patut di dalam acara reality show itu dikopi dan dijadikan role model.

Ingat, salah satu karakteristik utama Gen Z adalah bahwa mereka adalah self-learner yang sangat mumpuni. Dengan cepat mereka meniru dan menginternalisasi apapun yang mereka dapatkan di internet hingga kemudian membentuk nilai-nilai dari perilaku mereka.

Big Disconnection
Dalam bukunya, The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationship in the Digital Age (2013), Catherine Steiner-Adair mewanti-wanti terjadinya “tragedi keluarga” terbesar abad ini, yaitu apa yang ia sebut “big disconnection”. Tragedi ini sudah riil kita temukan di ruang-ruang keluarga kita. Coba saja lihat suasana di ruang makan atau ruang tamu di banyak keluarga kita. Pada hari Sabtu atau Minggu di situ berkumpul seluruh anggota keluarga; ayah, ibu, dan dua anak. Sekilas suasananya begitu akrab mencerminkan sebuah keluarga yang harmonis dan ideal.

Namun kalau kita telisik lebih dalam, baru kita temukan ketidakberesan di situ. Ya, karena masing-masing bapak, ibu, dan anak itu memegang smartphone dan mereka sibuk dengan smartphone masing-masing. Mereka asyik dengan “screen time” mereka masing-masing dan tak peduli satu sama lain. Tak jarang mereka senyum-senyum sendiri sambil mata tak bisa lepas dari screen. Inilah potret dari keluarga-keluarga kita. Sebuah potret yang kelam.

Mereka highly-connected dengan jagat internet, tapi celakanyahighly-disconnected dengan sesama anggota keluarga. Inilah yang oleh Steiner-Adair disebut big disconnection, tragedi keluarga terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Dan barangkali disconnection inilah yang memunculkan fenomena seperti kasus Awkarin-Anya di atas.

Sadarkah kita bahwa tragedi dan bencana besar big disconnection itu sudah terjadi? Kasus Awkarin-Anya harusnya menjadi wake-up call bagi kita setiap orang tua. Ia harus menjadi peringatan mengenai bencana lebih besar yang bakal terjadi di jaman digital ini. Setiap orang tua harus lebih kritis dalam menyikapi screen time dan aktivitas online putra-putrinya.

Saya adalah juga orang tua dari dua anak 10 dan 11 tahun. Terus terang kini saya takut, kasus ini hanyalah puncak kecil dari gunung es raksasa di laut kutub utara. Barangkali kasus yang sama dalam skala yang ribuan kali lebih besar bakal kita hadapi tiga tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun ke depan.

Sumber : Yuswohady

Anak Merupakan Anugerah Tuhan yang Harus Dijaga

Fajarnews.com, CIREBON– Maraknya tindak kekerasan terhadap anak, mengundang keprihatinan dari banyak orang.Untuk itu, diperlukan kesadaran dari semua komponen masyarakat untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap anak.

Para orang tua pun harus selalu diingatkan bahwa anak-anak merupakan anugerah dari Tuhan yang bukan hanya milik keluarga tetapi merupakan tunas dan generasi penerus bangsayang harus dilindungi.

Hal tersebut dikatakan Ketua Yayasan Mitra Tunas Ciremai Giri, Gusti Helena dalam acara talkshow yang digelar di aula salah satu toko buku di Jalan Ciptomangunkusumo, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, Sabtu (30/7).

Helena mengatakan, yayasannya terpanggil untuk mendukung pemerintah dengan membantu mengingatkan masyarakat mengenai bahaya-bahaya dari imbas perubahan dan kemajuan teknologi pada anak. Pihaknya mengadakan dialog dengan mengambil tema “Kenali dan Cegah Kekerasan Seksual pada Anak”.

Acara tersebut diisi oleh Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementrian Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Danti Anwardan seorang psikolog, Clara Adjisuksmo.

Turut hadir dalam acara tersebut perwakilan Pemerintah Kota Cirebon. Sementara pesertanya yakni para orang tua anak-anak TK Tunas Ciremai Giri dan peserta dari umum.

Helena mengatakan, melalui kegiatan itu,dia dan seluruh unsur yang terlibat memberikan edukasi kepada seluruh orang tua murid TK dan peserta umum yang hadir tentang bagaimana mendidik, menjaga dan memantau aktivitas anaknya dalam lingkungan yang sudah modern ini.

“Jangan malu dan takut untuk menceritakan permasalahan seksual. Saat ini haruslah keluar dan sampaikan apa yang terjadi. Jangan ada kata malu atau takut lagi,” ungkapnya.*

Internet, Penyebab Utama Kekerasan Seksual terhadap Anak di Kota Cirebon

RADAR CIREBON – Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Terhadap Anak dan Perempuan (P2TP2A) menyatakan kasus kekerasan terhadap anak di wilayah Cirebon dan sekitarnya masih tinggi. Sejak tahun 2002 hingga sekarang ada 400 kasus kekerasan terhadap anak.

“Data terakhir tahun 2015 saja ada 100 kasus. Sedangkan di tahun 2016, belum dapat direkap. Tapi, setiap harinya ada satu orang anak yang mendapat kekerasan,” ujar Ketua Harian P2TP2A Cirebon, drg Siska L Muliadi kepada Radar, Rabu (17/2).

Menurutnya, korban kekerasan banyak dialami anak usia 3-17 tahun. Namun, jumlah kekerasan terhadap anak tidak meningkat atau bisa disebut stabil yang pernah berhenti, karena setiap tahunnya pasti ada kekerasan. Paling banyak korban pada balita. “Tingkat kekerasan terhadap anak di Kota Cirebon masih tinggi. Ini membuat kami ingin bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Seni Budaya Korea Selatan untuk menciptakan taman bermain. Sebab, di Kota Cirebon minus taman-taman bermain,” jelasnya.

Tidak hanya itu, kekerasan anak juga diakibatkan, banyak orang tua yang menitipkan anaknya kepada tetangga yang memiliki fasilitas dan media memadai. Seperti televisi, jaringan internet melalui media gadget dan youtube. “Terbukanya akses informasi melalui media sosial dan internet menjadi penyebab paling utama. Dari jumlah kasus kekerasan terhadap anak, hampir 85 persen adalah kekerasan seksual. Kalau kekerasan fisik masih tidak terlalu banyak,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, untuk meminimalisasi terjadinya kekerasan terhadap anak, pihaknya membuat taman cerdas yang terletak di RW 10, Kelurahan Kecapi, Kecamatan Harjamukti. Di sana ada lapangan badminton dan lapangan futsal.

“Terus terang, di daerah Kecapi itu banyak pengguna narkoba pada usia muda. Jadi, kami memproteksi dengan mengadakan taman cerdas. Itu baru satu pilot project kita. Sebetulnya kami ingin semua RW. Tapi, kami tidak bisa,” imbuhnya.

Menurutnya, kebanyakan korban dialami dari keluarga sendiri yakni sodara sepupu yang melakukan kekerasan. Selain itu, masalah kekerasan juga karena ketergantungan ekonomi, karena ekonomi keluarga korban sangat minim. “Jadi hidup korban tergantung dari para pelaku, karena ketidakberdayaan secara ekonomi,” bebernya.

Ditambahkannya, P2TP2A menampung semua korban dari Sabang sampai Merauke. “Sebetulnya hanya wilayah III Cirebon. Tapi kadang-kadang datang dari Surabaya, dari Arab Saudi ada tiga korban yang hamil. Korban minta menolak anak. Tapi, kami tidak bisa melakukan hal itu,” tuturnya. (sam)